Seperti angin membadai.
Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia
memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang
di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat
kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa
benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenanng. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunnggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta.
Bukun ini memuat kumpulan tulisan Anis Matta pada rubrik serial cinta yang pernah dimuat di majalah Tarbawi.(less)
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenanng. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunnggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta.
Bukun ini memuat kumpulan tulisan Anis Matta pada rubrik serial cinta yang pernah dimuat di majalah Tarbawi.(less)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar