Selasa, 31 Januari 2012

memoriam Ust..Nurhuda Trisula

http://www.islamedia.web.id/2012/01/in-memoriam-muharik-dakwah-ustadz.html
 

Islamedia - ‘Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, telah berpulang Ust. Nurhuda Trisula pg ini, Sabtu 28 Jan jam 04.45 di RS, sebarkan’.
 

Track perjalanan aktivitas beliau yang membuat kami semua kehilangan. Ustadz, selamat jalan. Tidak ada yang lain, hanya salut yang amat tinggi & iri melihat kehidupan ustadz yang istiqomah hingga akhir. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.. Ada tempat yang mulia untuk sang Ustadz...
“Karakter ‘Arkanul Bai’at”

Semua yang mengenal Ustadz Nurhuda Trisula pasti sangat tahu bagaimana karakternya dalam da’wah, akhlaknya dengan sesama dan prinsipnya dalam hidup. Bahkan saat almarhum dalam keadaan sakit menahun pun, karakter, akhlak dan prinsip itu tak ikut luntur menghilang bersama lemah fisiknya. Bahkan di akhir-akhir hayatnya, beliau masih tetap meneladankan keseriusan dan pengorbanan fisik dan pikirannya kepada da’wah yang tiada terkira.

Dalam bulan-bulan terakhir, beberapa kali aku mendengar curhat dari beliau langsung tentang kegusaran istrinya akibat “keras-kepala” nya. Bagaimana Mba Win melarang untuk mengurangi aktifitas beliau, karena tanda-tanda stroke kedua yang kemungkinan mendekat. Sampai-sampai Mba Win pernah sms -sebagai bentuk gugatan kasih sayang- kepada beliau dan beliau ceritakan kepadaku; “aku telah menjadi istri yang gagal karena tidak mampu melarang suami untuk istirahat”. Beliau tidak pernah menanggapi dengan melankolis.


Ikhwah di DPW juga sering menutup-nutupi jadwal rapat demi keinginan seluruh ikhwah untuk tidak melibatkan beliau, karena melihat kondisi fisik beliau. Tapi beliau selalu menemukan cara dengan mencari tahu jadwal rapat dan memaksa ikut, memberikan kontribusi pemikiran dan solusi paling banyak dan paling sering mengarahkan seluruh ikhwah tentang langkah-langkah yang harus diambil berkaitan dengan strategi da’wah.


Hari Rabu, empat hari sebelum beliau tak sadarkan diri, aku masih di rumahnya dari jam 7 pagi hingga jam setengah 12. Aku masih membuat bahan presentasi untuk disampaikan beliau kepada BPH DPW. Diantara wajah letih beliau, beliau masih mau mendengarkan paparanku. Di sela-sela paparanku, beliau sempat berkata; “akh, saya lihat antum seperti berputar-putar badannya lho”. Aku langsung kaget dan menghentikan pembicaraan. Kataku; “Ustadz, kita stop dulu ya. Besok bisa kita lanjutkan. Antum istirahat dulu”. Tapi dengan tegas beliau mengatakan; “Tidak usah akh. Antum lanjutkan saja. Saya bisa mendengarkan sambil berbaring”.


Setengah jam kemudian, saat aku masih menjelaskan, beliau memotong dengan muka gusar; “akh, tangan saya dan kaki saya sebelah kanan tidak bisa digerakkan nih. Dari kemarin seperti ini”. Aku langsung cemas dan berkata; “Ustadz, kita stop dulu ya”. Beliau menjawab dengan tersenyum; “Tidak usah. Selesaikan saja. Santai akh”. Aku membatin, bagaimana bisa aku santai mendengar kondisinya. Akhirnya aku percepat presentasi dan mengcopy bahan presentasi itu ke flashdisk beliau. Saat aku diam begitu lama, sambil berbaring beliau berkata; “Akh, dua hari ini saya mengalami disorientasi. Jadi, saya bangun pagi dan tiba-tiba bingung mau ngapain. Saya bisa mengalami kebingungan hingga berjam-jam. Kata dokter, kalau kita disorientasi seperti itu, biasanya mau stroke yang kedua lho, dan itu alamat delapan puluh persen saya wafat”.


Beliau berkata seperti itu tanpa beban. Tanpa ketakutan. Tetap tenang dan sambil tertawa !. Aku saja yang mendengarnya begitu cemas. Waktu aku pulang, aku sempat berpesan; “syaikh, kalau boleh nyaranin, sebaiknya banyak istirahat”. Dan aku yakin, pesanku tak akan digubrisnya. Karena dia sudah menjadwalkan akan ke DPW seharian ini, ke Bontang esok harinya, ke DPP pada hari Jum’at dan ke Jakarta lagi untuk mengatarkan Adzkiya pada hari Ahad. Begitulah beliau dengan keteguhan dan sikap tak mau dikasihani-nya. Jika beliau bisa melakukan sendiri, buat apa minta bantuan yang lain katanya.


Kenangan tentang keteguhan beliau kerja keras beliau hingga wafat di jalan Allah juga di rasakan oleh sahabat-sahabat dekatnya. Ustadz Haris pernah jalan berdua bersamaku waktu ada acara Partai di Jakarta setahun yang lalu. Dan beliau dengan sangat gamblang menceritakan tentang Ustadz Nurhuda; “antum harus contoh Ustadz Nurhuda akh. Tentang obsesinya dalam da’wah, tentang komitmennya yang tiada pernah patah. Jangan pernah menyerah dengan masalah-masalah”. Kata-katanya membuatku tersenyum malu.


Saat aku bertandang ke rumah seorang ustadz yang sealmamater dengan beliau, setengah tahun lalu, Ustadz tersebut menceritakan bahwa dengan keteladanan akhlaknya, Ustadz Nurhuda menjadi orang yang bisa menengahi berbagai masalah di kalangan ikhwah di berbagai daerah. Saat ada konflik dan perbedaan pendapat, beliaulah orang yang didepan dua kelompok yang berselisih tersebut yang bisa menyatukan pandangan-pandangan ekstrim dan merangkumnya dalam sikap moderat dialiri kasih sayang dan persaudaraan


Orangtua Bang Icha, Ustadz Andre dan seluruh keluarganya, telah menganggap Ustadz Nurhuda adalah bagian dari anak dan saudaranya, karena mereka sangat lama berinteraksi dan memetik kebaikan, ketulusan, kasih sayang dan kuatnya ikatan persaudaraan dari Ustadz Nurhuda saat-saat da’wah ini di buka di Kalimantan Timur, dimana Bang Icha dan Ustadz Nurhuda berjibaku untuk pertamakali.


Beberapa saat setelah wafatnya Ustadz Nurhuda, saat Ustadz Zainal Haq masuk ke ruangan ICU sekitar pukul tujuh bersama Ustadz Hadi Mulyadi, beliau dengan suara terbata-bata menahan tangis menegaskan bahwa Ustadz Nurhuda adalah orang yang paling layak diteladani oleh seluruh ikhwah. Saat Ustadz Hadi Mulyadi memberi kata sambutan tentang kebaikan-kebaikan almarhum, beliau mengatakan, ; “Semua yang pernah mengenal almarhum, pasti kagum dengan kesungguhannya pada da’wah dan jama’ah. Dan harus diakui bahwa beliaulah yang merintis da’wah di Kalimantan, dan dengan segala kesungguhannya, kita menjadi orang-orang yang berdiri di jama’ah ini”.


Beberapa kali Ustadz Masykur juga pernah mengeluh kepadaku tentang Ustadz Nurhuda; “Memang akh, kalau mau belajar politik da’wah dan strateginya kita harus belajar kepada Ustadz Nurhuda. Tapi ya itu akh, semua mau dipikirkan dengan sangat serius. Beliau selalu ingin terlibat dan meng-eksekusi keputusan besar jama’ah. Padahal kan kita kasihan sama fisiknya. Takut ada apa-apa”. Di lain waktu, saat pidato pelepasan jenazah, beliau juga menegaskan bahwa; “semua ikhwah yang ada di Kalimantan, terutama Kalimantan Timur adalah murid-muridnya. Karena sebab almarhum dan izin Allah-lah, saya dan seluruh ikhwah mendapatkan hidayah Allah. Saya akui bahwa saya murid almarhum. Semua murid almarhum. Satu hal yang wajib kita lakukan adalah mencontoh semua kebaikannya”.


“Almarhum adalah ‘Arkanul Bai’at yang berjalan di antara kita. Kita tidak pernah meragukan pengorbanannya dalam da’wah ini. Kita begitu mengagumi keikhlasannya dalam jalan da’wah ini. Waktu menjadi anggota DPRD, beliau sampai memberikan duapertiga pendapatannya untuk da’wah dan sepertiganya untuk keluarga. Itupun masih terpotong untuk aktivitas da’wah sehari-hari. Bahkan almarhum pernah bercerita kepada saya bahwa almarhum hanya menyisahkan limaratus ribu untuk Bu Win dan anak-anak. Betapa kita sulit menemukan orang-orang seperti beliau. Kita wajib mengikuti jejak beliau, meneladani dan meneruskan apa yang menjadi cita-cita beliau”.


Begitulah beliau di mata sahabat dan kawan seiring perjuangan. Aku sendiri telah banyak menulis kenangan indah baik saat kami berdua mengunjungi kota lain, duduk berdua, atau bersama-sama saudaraku yang lain. Kurangkum sebagian kenanganku dalam sebuah tulisan pesan nan indah di hatiku. Dan sebagian kutuliskan untuk saudaraku yang lain, di
“Penakluk Ribuan Hati”.
“Waktu Perpisahan”

Aku akan menceritakan hari dan detik terakhir per-pisah-an beliau dengan kita semua; saudara-saudara terdekatnya. Aku merasa punya kewajiban menceritakan hari-hari terakhirnya, karena secara fisik, akulah orang yang paling dekat dengan almarhum di detik-detik keberangkatan menuju perjalanan abadi.

Kamis, 26 Januari pukul 18.00


Aku mendapat telpon dari Ust. Bambang Sutrisno, bahwa Ust. Nurhuda Trisula berada dalam kondisi kritis. Bersama Ustadz Masykur, beliau juga mengabarkan akan ke RS. Siloam. Aku menyambut dengan berinisiatif bersama akh Riawan menyewa mobil dan berangkat ke Balikpapan.


Di perjalanan, aku masih berdo’a dan berharap kesembuhan beliau, karena hari Ahad (22/1/2012) saat aku bersama Ust. Masykur menginap menjaga beliau, setelah bersama-sama pulang dari Jakarta, Ust. Nurhuda masih bisa batuk, menggerakkan tangan dan masih merespon kaki-nya waktu kami berdua membersihkan badannya dibantu seorang suster. Walaupun memang, tingkat kesadarannya hanya sekitar 3 sampai 4 dari skala 1 sampai 15.


Saat hari Ahad itu, kami berdua, aku dan Ust. Masykur cukup lama masuk ke dalam ruangan, Ust. Masykur sempat berkata dan mencandai Ust. Nurhuda; “Pak Nur, ayo bangun, cepetan sehat, ada saya sama BP nih”. Aku ketawa dan menangis bersamaan.


Kamis, 26 Januari, Pukul 20.30


Aku bersama Ust. Masykur, Ust. Bambang Sutrisno dikumpulkan oleh Dokter Damayanti. Kata-kata yang kuingat adalah; “Bapak-Bapak, kami dari jajaran RS. Siloam, mau menyampaikan agar semua keluarga bersiap-siap. Kami akan maksimal membantu Pak Nurhuda, dengan sekuat kemampuan kami”. Ustadz Masykur menekankan bahwa kami diberi keleluasan waktu menjenguk, terutama pada saat kritis. Dokter mengiyakan. Dalam catatanku, Ustadz Nurhuda mengalami masa kritis hingga 7 kali.


Jum’at, 27 Januari, pukul 10.50


Aku menerima sms dobel dari dua handphone istriku. Kata-katanya kutampilkan utuh;


“Td malam umi mimpi ketemu pak nur yah, beliau sehat,trus bagi2 apa gitu…semua yg liat kaget..:(“.


Aku menganggap itu hanya bentuk rasa kangen istriku dan kami sekeluarga kepada beliau. Aku juga sering bermimpi duduk berdua dengan beliau di sebuah taman. Tapi itu kuanggap biasa.


Jum’at 27 Januari 2012. pukul 17.00


Aku mendapati belasan ummahat berkumpul di ruang tunggu. Kulihat juga Ustadz-ustadz masyaikh da’wah Kaltim berkumpul. Ustadz Hadi, Ustadz Zainal, Ustadz Haris, Ustadz Icha, Ustadz Syukri, Ustadz Hasanuddin dan lainnya. Semua bercerita panjang lebar tentang kisah masa lalu. Semua seperti ingin memberikan ucapan perpisahan.


Jum’at 27 Januari 2012. pukul 22.00


Dokter memeriksa Ust. Nurhuda. Kata dokter, keadaanya baik dan stabil. Kami semua lega. Semua ustadz bergiliran pamit pulang.


Jum’at 27 Januari 2012. pukul 23.00


Ust. Masykur Sarmian, Ust. Bambang Sutrisno, aku dan tiga orang ikhwah Kepanduan turun ke ruang lobby. Di luar kaca ruangan kulihat, ikhwah Kepanduan hilir mudik masuk Rumah Sakit. Jumlahnya puluhan orang. Tumben sebanyak ini, dalam hatiku. Kami yang di lobby sempat menonton berita buruh yang memblokir jalan tol. Aku menyempatkan membaca buku dan tilawah QS Al-Imron.


Sabtu, 28 Januari, pukul 2.00


Ust. Bambang Sutrisno gelisah dan bangun menuju mushola. Aku masih berbaring dengan gelisah.


Sabtu, 28 Januari, pukul 3.00


Ust. Masykur juga gelisah dan bangun untuk qiyam. Beliau sempat mengajakku, tapi aku bilang, aku qiyamullail jam 4 saja, sekalian melanjutkan Subuh baru tidur di Mushola.


Sabtu, 28 Januari, pukul 3.45


Aku menuju mushola Rumah Sakit di lantai 1 dan mendapati Ust. Masykur sholat. Bacaan dikeraskan tapi terdengar tidak tenang. Beberapa kali beliau terbata-bata melafalkan ayat-ayat Allah. Aku mendengar penuturannya di depan Ustadz Haris dan Bang Icha sekitar jam 8 kurang di pagi wafat almarhum, bahwa saat qiyam, beliau seperti mendengar gemuruh guntur dan angin kencang bersahutan.


Setelah qiyam, beliau berbaring setengah tertidur sambil menunggu waktu subuh.


Sabtu, 28 Januari, pukul 4.10


Aku tafakkur duduk di Mushola, seorang al-akh anggota Kepanduan dari Balikpapan membangunkan Ust. Masykur. Aku larang, karena aku tahu beliau letih.


Al-akh itu mengatakan; Ust. Nurhuda kritis. Aku meloncat, lari ke lift. Aku pesan; tolong ceritakan semua ke Ust. Masykur. Aku duluan menuju ruang ICU


Sabtu, 28 Januari, pukul 4.13


Di ruangan, seorang perawat sudah duduk di atas bangsal dan memompa jantung Ust. Nurhuda.


Aku masuk di antara barisan 5 perawat yang mengelilingi. Ust. Bambang Sutrisno sudah duluan berdiri dan menangis membaca talqin. Ust. Masykur masuk 5 menit kemudian. Akh Sandy Ardian menunggu di ruang sela ICU. Kami semua membaca talqin. Bersahut-sahutan.


Sabtu, 28 Januari, pukul 4.32


Detak jantung sudah berkisar 47 dan 48. Tiga kali jantungnya berhenti. Berganti-ganti perawat naik ke pembaringan dan memompa jantung Ust. Nurhuda. Mereka sungguh-sungguh berjuang.


Aku pegang kaki Ust. Nurhuda. Dingin. Aku setengah memaksa meminta perawat yang berdiri dekat kepala untuk pindah.


Kupeluk kepalanya dan kubacakan talqin tak pernah berhenti. Aku menangis keras. Ust. Masykur melarangku. “Jangan menangis. Teruslah membaca talqin” katanya. Tapi beliau menangis juga. Beliau mengeraskan juga bacaan talqin.


Sabtu, 28 Januari, pukul 4.44


Di monitor, detak jantung sudah berkisar 33. Catatan monitor jantung sudah tidak berdetak. Hilang dan muncul hingga tiga kali. Dokter memberikan suntikan pemacu jantung. Beliau saqaratul maut. Aku bacakan talqin keras-keras di telinganya. Ust. Masykur masih menggosok-gosok kaki beliau. Harapan masih menggumpal.


Sabtu, 28 Januari, pukul 4.45


Dokter berhenti setelah melihat monitor. Print out catatan terakhir alat vitalnya di lihat. Sambil melihat kami bertiga, dokter mengucapkan “Innalillah..”. Dan seterusnya aku tak mendengar lagi. Yang kudengar hanya hening. Aku peluk beliau begitu erat. Airmataku menetes di pipinya. Kubisikkan kata-kata terakhir; “selamat jalan syaikh. Selamat jalan ya mujahid”


Aku peluk almarhum begitu lama. Kucium keningnya. Wajahnya tenang. Almarhum tidur seperti bayi.


Berganti kemudian Ust. Masykur dan Ust. Bambang Sutrisno mencium beliau. Langit gelap di mata.


Ust. Masykur menyuruh aku menunggui almarhum. Beliau mengabarkan kepada saudara yang lain. Ust. Umar Farouk mengatur ikhwah yang berjaga dan bergiliran sholat subuh. Beliau juga mengatur penjemputan Mba Win.


Aku sendirian di ruangan. Dokter Eva menemuiku. Meminta opsi apakah diperbolehkan membersihkan selang, alat bantu dan membersihkan popok. Aku mengiyakan. Aku katakan, tolong auratnya tetap tertutup. Aku akan bantu mengganti popoknya. Biarlah ia terhormat seperti hidupnya. Wajahnya bersih. Aku menangis. Berkali-kali kucium dahi dan kubersihkan sisa-sisa kulitnya yang mengelupas di telinga.


Dokter memintaku mencarikan kain yang bisa dipakai untuk menutupi badan almarhum. Aku minta akh Sandi mengambil sarungnya dan sarungku. Semoga sarung kami menjadi penutup terindah almarhum


Sabtu, 28 Januari, pukul 5.15


Istri almarhum datang. Ibunda beliau hanya tertahan di pintu luar ruang ICU. Anaknya yang tersayang telah pergi mendahului. Ia begitu berat berdiri. Wanita shalihah berumur 82 tahun yang melahirkan sosok teladan ini hanya menangis sesenggukan.


Dengan menangis, Mba Win mencium dahi dan memeluk cukup lama. Kata-kata yang aku ingat; “Selamat jalan ya bi. Ilaa liqo”. Melepasnya dan menyeka air mata.


Tak pernah kulihat ketegaran sebesar itu untuk sebuah kehilangan separuh jiwa. Ia mungkin seperti sosok seorang mujahidah da’wah abad ini yang ketika mendengar suaminya ditembak, ia berkata; “alhamdulillah, ia sudah bersenang-senang di syurga-Nya”.


Kami sholat subuh dalam hening dan tangis. Kulihat dua perempuan karang itu berpelukan. Aku menangis. Ust. Masykur menangis. Semua yang ada di mushola menangis.


Setelah shalat, kami merapatkan tempat pemakaman, menjemput Adzkiya dan Naufal. Kulihat wajah almarhum melekat di keduanya. Ya Allah, betapa berat cobaan keponakanku.


Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.05


Ustadz Hadi Mulyadi datang bersama Ustadz Zainal Haq. Ustadz Hadi memeluk Ustadz Masykur. Mereka berdua menangis. Ustadz Zainal berdiri di samping almarhum. Beliau dengan bergetar dan terbata-bata menangis berkata. Kemungkinan, kata-katanya seperti ini; “kalau ingin melihat seorang mujahid teladan, lihatlah orang ini”. Beliau tak tahan untuk tak menangis.


Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.17


Setelah keputusan final mengebumikan almarhum di Samarinda, jenazah dibawa ke parkiran belakang. Kami berebut ingin mengangkat ke tandu. Di parkiran berkumpul puluhan kader Balikpapan. Ustadz Masykur dan Ustadz Hadi bergantian memberi kata sambutan sebelum keberangkatan menuju Samarinda.


Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.23


Aku di tugaskan menemani almarhum di mobil ambulans. Aku mendampingi sopir ambulans menuju Samarinda. Kulihat wajah empat anggota Kepanduan yang duduk di kanan kiri jenazah almarhum. Mereka bersedih tapi gurat kebanggaan terlihat jelas di muka mereka. Mereka bangga karena mengiringi perjalanan seorang shalih yang banyak memberi pengaruh pada alam jiwa nan tangguh di hidup mereka


Sabtu 28 Januari 2012 pukul 9.50


Hujan mengguyur saat mobil masuk ke Samarinda. Akh Karjono dan Akh Teguh Widodo menjemput di sekitaran Samarinda Seberang. Ikhwah Samarinda telah mempersiapkan penyambutan di rumah almarhum. Siapa yang tidak berbangga menyambut dan menyiapkan perjalanan seorang mujahid?.


Detik-detik menuju jalan depan rumahnya adalah detik penuh haru. Waktu jenazah dibuka, aku katakan bahwa jenazahnya hanya ditutupi jarik. Tolong jaga kehormatannya kataku. Beberapa al-akh berteriak “Allahu Akbar”. Allah Maha Besar kasih sayangnya pada almarhum.


Sabtu 28 Januari 2012 antara pukul

10.30-18.17

Prosesi memandikan, mengkafani dan shalat jana’iz di lakukan. Beberapa saudara terdekatnya memandikan. Semua ingin mengambil bagian dalam semua prosesi. Inilah bentuk cinta kami. Inilah bentuk cinta kami.


Beberapa koleganya datang. Tokoh-tokoh politik juga datang. Beberapa berbisik tentang kebaikan hidupnya. Siapa yang tidak terpesona dengan keteguhan, kelembutan dan kebaikannya?. Ia disegani sekaligus disayangi orang-orang. Semua orang merasa dekat.


Ikhwah berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan unsur Wilda dan DPP juga datang dengan antusias. Ikhwah yang berdiam di Masjid Darul Falihin bergerombol dan mengenang almarhum. Sebagian terisak, sebagian menyembab, sebagian menceritakan kisah-kisah lucu bersama almarhum.


Saat Shalat Jana’iz di lakukan, kulihat sepintas di belakang. Semua berdiri dengan gurat kesedihan dan kebanggaan beraduk-aduk.


Saat sambutan keberangkatan dari Ustadz Masykur, aku mendengar gemuruh tangis.


Semua ikhwah, ibu dan anak-anak berjalan beriring mengantarkan almarhum ke kuburnya. Di hati mereka pasti terbesit pertanyaan; “akan seperti apakah kami saat menghadap Illahi?. Syahidkanlah kami ya Allah, syahidkanlah kami semua ya Allah”.


Selamat jalan guru, kakak, ayahanda, saudara kami tersayang; Ustadz Nurhuda Trisula. Engkau telah membuktikan janjimu pada Allah. Sekarang giliran kami. Ilaa liqo.


Allahu Akbar !


28-29 Januari 2012




*)sumber: milis,
pelangikalasenja.wordpress.com dan http://andafcian.wordpress.com/2012/01/28/in-memoriam-muharik-dakwah-ustadz-nurhuda-trisula/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
www.maratulmutiah.blogspot.com
HAiiiiiii