Ummi dan Abi yang Muthi sayangi….
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa menebarkan rahmah yang melampaui apa yang dibutuhkan hamba-Nya,
Apa
kabar Ummi dan Abi? Semoga dalam keadaan sehat, selalu saling cinta dan
bermanfaat bagi sesama. Muthi disini sehat, dalam keadaan baik dan
sedang sibuk banget dengan urusan kampus. Alhamdulillah, praktikum sudah
selesai dan sore ini Muthi kosong. Doakan Muthi selalu dalam amal saleh
ya!
Jauh dari Umi dan Abi seperti ini, membuat muthi memiliki
timbunan rasa kangen yang menggunung, Di bayangan Muthi, berkelebat
segala renik masa lalu yang sekarang ini membuat Muthi selalu bisa
tersenyum. Meski dengan masa itu, Muthi terkadang merasa tak nyaman dan
merasa tertekan.
Ummi ingat, Muthi sering kali bete, karena Muthi
selalu disangkut-pautkan dengan ”nama besar” Ummi dan Abi, setiap kali
Muthi dipandang tak layak berperilaku sebagai anak ikhwah, Muthi akan
cemberut dan menyesal mengapa Muthi keluar dari rahim Ummi. Bukankah
Muthi tak pernah memilih dilahirkan siapa?
Ingatkah saat Muthi mogok
sekolah waktu SD dulu? Guru Muthi akan bilang, masak sih anaknya Ustadz
Fahri gampang ngambek? Apa hubungannya ngambeknya Muthi dengan Abi? Lalu
ketika Muthi memilih memakai celana jeans dari pada rok panjang, amah
yang lain akan bilang, Muthi, lihatlah Ummi Muthi, betapa anggunnya
beliau dengan gamisnya, mengapa Muthi memilih memilih celana jeans
ketat? Mengapa amah tak pernah bertanya betapa ribetnya Muthi kalau
harus memakai rok, apalagi gamis, padahal Muthi hobi berlari dan suka
memanjat pohon di belakang rumah? Belum lagi urusan kerudung, yang
kekecilanlah, yang ga diikatlah, yang nggak berwarna noraklah, yang tak
boleh tipislah. Muthi ingi seperti teman-teman Muthi yang lain, yang
orang tuanya bukan ikhwah, mereka lebih bebas mengekspresikan dirinya.
Ummi
dan Abi sayang, ingatkah Ummi waktu guru Bahasa Indonesia Muthi kala
SMP menangis saat membaca puisi yang Muthi tulis? Muthi sudah mulai lupa
redaksinya, yang jelas, puisi itu tentang Ummi...
Secawan Tambatan Kasih, untuk Bunda Tercinta
“Ketika matahari pagi menyapa kulitku, lembut, tahukah kau, betapa
sesungguhnya, aku sangat ingin membagikan kehangatan untukmu, Bunda...
Agar kau tahu, di setiap yang menghasrati raguku, engkaulah yang mengisinya dengan nyawa doamu
Maka, tapak kakiku adalah cinta yang menuntunku untuk sampai ke jalanmu
Maka indra ragawiku adalah dian pelita yang mengikatku pada harapmu
Maka, setiap nafasku telah tertebat dalam rengkuhmu,
Maka, keelokanku adalah darah yang kau bersihkan dari nyeri dan pilu yang menderamu...
Engkau adalah cinta tak bertepi, saat kupejamkan mata, maka ia adalah benteng naungan yang melindungku dari kesatnya kehampaan,
Engkau adalah ruh yang terus hidup, saat mataku terbuka, maka lautan senyawanya menarikku dalam geraknya...
Engkau adalah kata tak terucap, tatapanmu adalah titah yang menyulut bara apinya,
Engkau
adalah samudra tak terbatas, yang melibas setiap kekhilafanku menjadi
kealiman tak bernanah dan berbau, redam oleh tangkalannya,
Maka Bunda, biarkan aku menuang madu berzaitun dalam bejana kalbumu, dan selaksa tasbih mengiringi dalam setiap peluknya,
Relakan
diri untuk guyuran sutra berteratai yang mewadahi embunnya, agar tak
ada lagi didih hati milikmu yang yang memberang karena fitnahku,
Karena
Bunda, biarkan engkau menjadi harta tak ternilaiku, yang mengecupku
saat bangunku, yang menyelimutiku saat tidurku, yang membarengiku dalam
jagaku, yang memautku dalam resahku,
Karena aku hanya punya engkau, tak ada yang lain, dalam hidupku, dalam cintaku...”
Ummi
ingat, Bu Firda, Guru Muthi itu, menangis saat membaca puisi itu dan
bercerita ke Bu Bustani, Wali Kelas Muthi, “Bu, benar ya Muthi, anak
sepintar dia (ehm...ehm...Muthi nggak GR lho Ummi), sudah tak punya
ayah? Saya mau mengangkatnya jadi anak. Lalu bagaimana kesehariannya?”
Bu Bustani kaget, “Lho ibu tahu dari mana?”
Bu
Firda menunjukkan puisi Muthi. Bu Bustani tersenyum. “Muthi masih punya
ayah, Bu. Munkin ini ungkapan hatinya tentang kedekatan dengan Umminya
dan ia menganggap ayahnya berjarak, karena kesibukannya.”
Maafkan
Muthi ya, Abi. Muthi waktu itu, memang merasa tak dekat dengan Abi. Abi
sibuk, selalu serius, tak pernah mengajak Muthi bercanda, meski Abi ga
galak juga sebenarnya. Abi ingat kan waktu Muthi SMU dan Muthi ikut
ekskul pecinta alam? Muthi ingin banget mendaki gunung. Muthi lihat foto
Ummi waktu SMA, bahkan Ummi belum memakai kerudung waktu Ummi ada di
Puncak Garuda di Gunung Merapi. Abi marah besar waktu itu, mengancam
Muthi tak diberi uang saku. Ada apa sih Bi? Bukankah tak ada yang salah
dengan pecinta alam? Mengapa Ummi boleh sama Eyang waktu itu? “Umm naik
gunung dengan Pakde Muth!” itu penjelasanya. Tapi itu tidak memuaskan
Muthi.
Itu yang sering kali membuat Muthi bingung. Kita dididik dalam
suasana serba seragam. Sejak kecil sekolah Muthi sekolah IT.
Teman-teman Muthi adalah anak-anak teman-teman Abi dan Ummi. Guru-guru
juga punya pengharapan besar bahwa kami akan lebih mudah dididik
dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Mereka tak salah, tapi,
realitasnya tidak begitu. Justru, anak-anak itu adalah anak-anak paling
heboh di kelas, naik ke atas meja, belajar sambil jalan-jalan, suka
memprotes. Sementara anak-anak lain, lebih santun kepada guru. Karena
mereka benar-benar guru, bukan ‘teman Ummi dan Abi”
Muthi ingat, saat
Muthi ditanya, apa cita-cita Muthi nanti oleh Bu Guru, di dalan hati,
Muthi bilang, asal tak seperti Ummi dan Abi. Muthi tak ingin kesibukan
Muthi menelantarkan anak-anak Muthi. Muthi juga tak mau beranak banyak.
Rasanya repot sekali. Sebagai anak pertama Muthi sering kali merasa
terganggu dengan tingkah mereka. Membuat tugas sekolah Muthi sampai
sobek dan Muthi harus mengulanginya sambil mengomel dan menangis.
Mengotori kamar Muthi dengan sampah berserakan dan Muthi juga harus
membereskannya. Mengantar mereka ke kamar mandi dan membersihkan
najisnya kala Ummi dan Abi pergi. Harus rela berbagi kue. Ah, bahkan
waktu itu, Muthi sempat berpikir untuk tak usah menikah, agar Muthi bisa
bebas berkarier dan menjadi diri Muthi sendiri, tanpa harus direpotkan
oleh orang lain.
Semakin besar, Muthi semakin tahu, betapa
sesungguhnya kesibukan Ummi dan Abi adalah kesibukan dakwah yang
mencerahkan peradaban. Tetapi, kami anak-anak Ummi dan Abi, adalah objek
dakwah yang membutuhkan pencerahan itu juga. Sayangnya, target-atrget
pribadi Ummi dan Abi miliki, terkadang tidak menyertakan kami dalam
prioritasnya. Itu yang sering membuat Muthi sedih. Maaf lho, tidak
selalu begitu, tapi ini beberapa ceritanya :
Abi-Ummi ingat kan
dengan Fardan, anak Ami Baskoro? Kami sama-sama di SMPIT waktu itu.
Selepas SMA kami berpisah. Fardan dimasukkan di SMA Negeri yang
memungkinkannya masuk dengan nilainya. Sayangnya ia seperti burung yang
terbebas dari sangkarnya. Lingkungan telah menyeretnya tanpa ia bisa
menggigit akar pohon kepribadiannya. Muthi terperanjat ketika Muthi
tahu, tak berapa lama, Fardan berpacaran, membawa pacarnya ke rumah,
berboncengan motor tanpa rasa risi, tak malu lagi ketika ditegur. Ia
bilang ke Umminya, “Mengapa sih Ummi ini tidak menjadi ibu-ibu
kebanyakan, yang tidak kolot dan memahami dunia anak muda?” Apa yang
mesti dikatakan Umminya? Bukankah sudah ada cerita, yang hamil diluar
nikah?
Belum lagi anak-anak yang lain, yang kenakalannya masih bisa
dilihat mata, merokok, membolos, narkoba. Ya Allah, bukankah orang tua
mereka adalah orang-orang yang berada di garda terdepan yang berusaha
membaktikan seluruh dirinya untuk kebaikan? Betapa kagetnya mereka,
melihat putra kebanggaannya sakau karena obat jahanam itu?
Ummi-Abi
ingat juga kan Fiddin, putri Ami Yudistira? Baru saja ia mundur dari
kampus. Ia tak berniat lagi meneruskan kuliahnya. Ia bilang ingin pindah
ke kampus lain. Padahal kan tak sembarang anak bisa masuk di PTN ini?
Dulu, sewaktu Ami Yudis menelepon Muthi dan menitipkan Fiddin agar
Fiddin masih bisa meneruskan tarbiyahnya, di kampus ini, Muthi
menyanggupinya dengan senang hati. Menolong mereka ibarat menolong
dakwah dan memperingan beban. Tetapi ummi, tahukah Ummi, betapa
sulitnya? Setiap janjian, Fiddin selalu mengelak, ia bilang ada di
perpustakaan, Muthi cari di sana. Sebentar kemudian ia bilang sudah ada
di Kopma, selalu begitu, yang mendadak ketemu dosen, ada kuliah
tambahan, ada tugas yang harus segera selesai. Muthi datangi kosnya, tak
pernah ketemu juga. Sekalinya ketemu ia bilang mau datang, ditunggu tak
datang juga. Sudah sesemester ia tak datang halaqoh. Tiba-tiba ia SMS
mau mengundurkan diri dari kampus. Pasalnya? Ternyata ia terlambat
registrasi, dimarahi oleh BAAK dan dosennya. Ia bete, tak mau
mengurusnya dengan lebih sungguh-sungguh. Masya Allah, Ummi mengapa anak
ikhwah tak tertulari kadar perjuangan jiddiyah yang dimiliki oleh orang
tuannya? Mengapa mereka gampang menyerah?
Baru saja di kampus Muthi
diadakan PEMIRA (Pemilu Raya Mahasiswa), untuk memilih presiden BEM
Universitas. Yang menang sih teman Muthi juga, Azzam Al-Munadi, meski
suara partai kami menurun dibanding tahun kemarin. Menarinya Ummi, ada
salah seorang putra ustadz yang berseberangan dengan partai kita. Ia
bilang, ia sudah tahu luar dalamnya kita, ia adalah putra pendiri
dakwah, ia tak ingin berada bersama kita, ia ingin berbeda dengan
ayahnya. Ia berada bersama teman-teman yang memperjuangkan ideologi
nasionalis sebagai dasar pergerakannya. Muthi tak tahu, semoga saja
sholat wajibnya masih terjaga. Bukankah banyak di antara mereka yang
merokok di siang hari saat bulan Ramadhan?
Ummi dan Abi, Muthi
bersyukur punya kalian. Muthi selalu lihat Ummi dan Abi saling
bertatapan. Muthi tahu, kalian sedang bertukar kasih. Muthi juga tahu,
Ummi tak membantah kata-kata Abi di depan kami, anak-anak Ummi. Ummi
selalu diam saat Abi sedang cemberut. Begitu juga Abi saat Ummi marah,
Abi mengirimi Ummi SMS mesra permintaan maaf. Muthi sempat membacanya
tanpa sepengetahuan Ummi dan Muthi ikut tersipu. Ummi pula yang setiap
Abi datang kelelahan di malah hari, merelakan meletakkan rasa lelahnya
juga agar berkhidmat untuk Abi. Muthi melihat itu.
Muthi ingat saat
Tsuraya, teman SMP Muthi mengerut ketakutan di belakang lemari, saat ia
melihat Abinya memarahi ibunya. Gara-gara Ummi Tsuraya melihat foto
mahasiswa Abinya yang disimpan di buku agenda dan menjadi back screen
laptop pribadinya. Firasat ibunya mengatakan, hubungan antar mereka
bukan lagi hubungan Dosen dan Mahasiswi yang saling bersinergi karena
ikatan prestasi, tetapi lebih jauh dari itu. Meski Abinya bilang, ia
membiayai mahasiswanya dan menjadikannya sebagai anak angkat karena anak
itu cerdas dan tidak mampu. Tetapi Ummi Tsuraya tidak bisa dibohongi.
Hubungan telepon Abinya sudah menjadi penanda. Tsuraya berontak, ia lari
dari rumah. Ia ingin Abinya tak marah-marah tiap hari. Ia ingin Umminya
berani dan tidak diam saja. Ia ingin Umminya melaporkan Abinya ke
Rektorat agar Abinya mendapat sanksi. Tetapi Umminya tak mau lakukan
itu. Ia rela berkorban kebahagiaan dirinya untuk kesenangan Abinya. Kami
sekelas yang kerepotan saat harus mencari Tsuraya ke sana kemari.
Alhamduillah, kasus itu akhirnya berhenti. Tapi Tsuraya terlanjur
terluka.
Muthi juga ingat dengan teman main Muthi sedari kecil,
Rijal, bekali-kali ia merepotkan orang tuanya untuk datang ke sekolahnya
karena ia asyik main di Game Online sampai berhari-hari, bahkan tidur
pun cuma sesaat di sana dan ia lupa ia punya kewajiban sekolah. Ia sudah
kecanduan. Orang tuanya perlu mengajaknya ke ahli untuk diterapi.
Ummi
dan Abi, ini Cuma sekedar potret, Muthi yakin ibarat pantai di tepi
laut, butiran pasir yang membukit jauh lebih banyak jumlahnya dibanding
sampah yang berserakan. Orang tak boleh bilang pantai itu melulu berisi
sampah, karena ia lebih banyak mengandung pasir yang bersih dibanding
kotorannya. Tetapi orang suka memotret perkeculiannya. Padahal jumlah
anak yang saleh dari ikhwah yang iltizam, jauh lebih banyak, tetapi
mereka tak terekspos.
Baru saja Muthi membaca buku Sepuluh Bintang
Penghafal Al-Qur’an, diceritakan disitu bagaimana Bu Wiwik dan Pak
Tamim, membuktikan bahwa kesibukan mereka di jalan dakwah, bertugas dari
pulau ke pulau, menunaikan amanah, mengetuai wajihah ‘Salimah’
se-indonesia dan ‘Aliansi Selamatkan Anak Indonesia’, tak menghalanginya
untuk mendidik putra-putri mereka agar mereka bisa mewarisi dakwah dan
memperbaikinya jauh lebih baik dari orang tuanya.
Bu Ledia Hanifa
juga baru saja bercerita. Ia mengirim putranya bersama beberapa temanya
ke Palestina, lewat Al-Arish, melalui lorong-lorong tikus karena tak
diizinkan masuk lewat jalan resmi, mereka bisa menghirup napas jihad
karena mereka mendengar berondongan peluru sesekali dan membawa semangat
itu ke negeri tercinta. Mereka anak-anak ikhwah.
Ummi juga
masih ingat kan cerita tentang Afifah Cholid? Gurunya bilang, ia anak
berkepribadian lengkap, cerdas otaknya, beberapa kali menang Olimpiade
Sains, tertata emosinya, santun, Sederhana, mudah berkorban bagi
temannya. Lihatlah ketika ia tertinggal sholat berjamaah, jika melihat
teman di sampingnya tak bersajadah, maka ia bentangkan sajadahnya
untuknya, dan ia sendiri tak mengapa tak bersajadah. Ia suka menolong,
tak pelit membagi ilmu, lulusan terbaik di kabupaten, sampai sekarang ia
masih rajin mengaji. Abinya menjadi Murobbi baginya. Semoga ia
istiqomah sampai ke depannya.
Ummi–Abi juga masih ingat Faros kan,
teman TK Muthia? Ia memilih masuk ke pesantren tanpa paksaan dari oramh
tuanya, agar ia bisa menjadi Ustadz seperti Pakdenya dan meneruskan
mengurus pesantren milik Simbah Kakungnya.
Kita juga pernah mengenal
Hizbullah kan Mi? Waktu kecilnya kita memanggilnya Ibung, putra Bu Nung
Azizah dan Pak Yazi, ia melanglang buana, ke Beijing, ke Singapura dan
beberapa tempat lainnya, sejak ia SMA, karena hasil kerja kerasnya. Ia
menang berkali-kali di Olimpiade Fisika. Sekarang ia kuliah dengan
beasiswa di Institut paling bergensi di negara ini. Ntuk menjadi seperti
itu, ia tak pernah mengorbankan masa remajanya untuk memberontak,
Ummi
juga ingat Ilham kan? Putra Ami Saleh yang sudah lebih dahulu menghadap
Allah. Saat Umminya divonis kanker rahim, Ilham mengorbankan banyak hal
dari dirinya agar ia bisa berkhidmat untuk bndanya. Ia rela tak kuliah,
tak beraktifitas.
Muthi dan teman-teman menangis saat menengok
bundanya. Dokter menyerah, bundanya pun dipulanglan ke rumah, tak lagi
dirawat di rumah sakit. Iham benar-benar berbakti di saat-saat terakhir
bundanya. Ia tak segan menggantikan baju ibunya, menyapinya, mengelap
keringatnya, membasuh luka di punggungnya karena ibunya laba terbaring
di pembaringan, membelai tubuh ibunya, mengaj di sampingnya. Sementara
kakak perempuannya mengerjakan banyak hal yang lain, mencuci, memasak,
memersiapkan kebutuhan sehari-harinya.
Ia juga menjadi wali bagi
kakaknya saat sang kakak menikah karena Umminya menghendaki sang kakak
segera menikah, di depan pembaringan Umminya, sebulan sebelum Umminya
meninggal. Meski keluarga besarnya memarahinya, mengapa menikah di saat
Umminya masih sakit, seperti orang yang tak tahu membedakan mana
kebahagiaan mana kesedihan. Tapi Ilham tak pedulikan itu, ia dahulukan
ridha sang Ibu.
Ilham bukan anak sembarangan Ummi, ia ketua wajihah
dakwah di kampus, ia juga aktif di unit kampus. Ia lembut tapi tegas,
tak pernah membentak-bentak akhwat. Saat ibunya meninggal, Ilham sedang
syuro karena Umminya mengizinkan dan memaksa Ilham memenuhi amanahnya.
Tak melulu bersama Umminya. Dan Ilham anak Ikhwah....(Ummi jangan
berpikir Muthi naksir lho ya, harapan Muthi sih, Muthi nanti menikah di
jalan dakwah, sama seperti Ummi dan Abi. Apa Ummi sudah ada calon untuk
Muthi? Nanti ya, dua atau tiga tahun lagi ya, sekarang Muthi sedang
sibuk banget jadi ADK, Aktifis Dakwah Kampus, he...he...he...)
Muthi
yakin Ummi, masih banyak anak ikhwah yang jauh lebih baik. Bila saat ini
mereka masih sibuk berlarian, sesungguhnya mereka sudah tau jalan
kembali. Sama seperti Muthi, Ummi. Ummi dan Abi bagaikan magnet bagi
Muthi, doa robithah Ummi menjaga Muthi, shalat malam Ummi menaungi
Muthi, dakwah Abi dan Ummi ke orang lain terpancar sampai ke hati Muthi.
Maafkan
Muthi bila Muthi dulu sempat berontak, alhamdulillah, keputusan Ummi
untuk menjadikan Muthi teman sejati, mendengarkan Muthi cerita, tak
memotong begitu saja kejahiliahan Muthi, mengajari Muthi mandiri dan
memberi Muthi kepercayaan, membuat Muthi terjaga dan terpeluk hidayah.
Muthi sudah melewati masa kritis itu, semoga adik-adik juga begitu.
Muthi yakin Ummi dan Abi jauh lebih berpengalaman menghadapi hal ini.
Ummi-Abi,
Muthi mau bersiap-siap mengisi liqo’ untuk adik-adik binaan Muthi,
besok pagi usai subuh. Jadwal kuliah yang padat memaksa kita mesti
pintar menyiasati waktu. Doakan Muthi ya. Muthi ingin keluarga kita
dibariskan dalam barisan dakwah dalam jamah kebenaran. Muthi ingin,
sampai kapanpun, kita saling mewarisi sampai anak cucu kita...
Diambil dari buku “Tarbiyah Madal Hayah, Chicken Soup For Tarbiyah”.........